Monday, 18 July 2016

WELFARE STATE: Sebuah Perbandingan Konsepsional dan Praxis di Beberapa Negara

A. Pendahuluan
Pilihan terhadap tata ekonomi yang dipandang dapat memberikan kehidupan yang lebih baik, bergerak dengan logikanya sendiri, membentuk bangunan alur sejarah yang berproses dalam ulir perkembangan dialektis dan berkorelasi dengan kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Munculnya madzhab Keynesian berdasarkan konsep welfare state-nya misalnya, dipandang sebagai antitesis yang berhasil menyelamatkan bangunan teoretik kapitalisme klasik yang hampir runtuh, sebagai akibat depresi besar pada tahun 1930-an , dan kemudian berkembang menjadi pilihan utama bagi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1940-an, pemerintah Inggris yang dikendalikan oleh Partai Buruh mulai menerapkan model ekonomi Keynesian ini. Demikian pula Amerika Serikat, di bawah Presiden Roosevelt dengan program New Deal-nya pada 1933, yang kemudian diikuti oleh Kennedy dan Johnson tahun 1960-an, telah menempatkan gagasan welfare state (negara kesejahteraan) menjadi pondasi sistem ekonominya. Hal ini pun kemudian diikuti oleh Negara-negara maju lainnya.
Perubahan sistem ekonomi yang dianut oleh berbagai negara besar tersebut, diawali dari pendapa seorang ekonom Inggris yang bernama John Maynard Keynes, yang menantang paham liberal. Keynes mengembangkan gagasan alternatif bahwa pemerintah dapat dan harus melakukan intervensi dalam perekonomian, dan membangun sebuah model yang sama sekali baru. Dalam konteks inilah, negara menjadi tumpuan harapan lebih pasti bagi lapisan massa terbawah. Lepas dari ketentuan konstitusional tentang tugasnya, sejarah krisis ekonomi dan finansial dunia akhir 1920 dan awal 1930 telah memberikan preseden bagi negara untuk mengubah wajah “kaku”-nya kepada “keramahan”. Ketidakpercayaan pada sistem ekonomi kapitalis berbasis gagasan laissez-faire yang didominasi oleh aktor-aktor swasta (private capitalists) abad ke-18 dan ke-19, menyebabkan negara mengambil alih peran mereka. Negara kemudian tampil bertindak sebagai aktor utama dalam perekonomian dan mereformasi sistem ekonomi dan finansial global. 
Namun doktrin Keynesian hanya mampu bertahan selama kurang lebih tiga puluh tahun. Resesi ekonomi, pengangguran, dan inflasi yang kembali terjadi pada paruh akhir tahun 1970-an membuat Keynesian kehilangan legitimasi teoretiknya . Krisis kapitalisme di akhir 1970-an menyebabkan semakin berkurangnya tingkat keuntungan kaum kapitalis yang berakibat pada jatuhnya akumulasi kapital mereka, sehingga meneguhkan mereka untuk kembali pada sistem liberalisme. Doktrin ekonomi Keynessian dianggap sebagai penyebab kehancuran kapitalisme waktu itu. Dimotori oleh ekonom Milton Friedman dan Friederich Hayek, mereka meyakini bahwa pasar bebas mampu memajukan ekonomi dibandingkan negara dan usaha negara dalam mengatasi kegagalan ekonomi lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Mereka ingin negara kembali pada fungsi dasarnya dengan cara melakukan deregulasi, privatisasi atau mengkontrakkan sejumlah fungsi negara kepada swasta .
Melaui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham liberalisme, bahkan dalam skala global. Paham liberalisme lama itu kini dihidupkan kembali secara global, yang dikembangkan melalui sebuah “konsensus” yang dipaksakan. Konsensus 1980-an yang dikenal dengan The Washington Consensus itu, datang dari para pembela ekonomi pasar bebas yang berasal dari wakil perusahaan-perusahaan besar Transnasional Corporations (TNC’s) atau Multi Nasional Corporations (MNC’s), Bank Dunia, IMF serta wakil negera-negara kaya. Mereka menyebut kesepakatan itu sebagai “reformasi” ekonomi dengan kebijakan pasar bebas di era global. Intinya adalah negara harus melayani dan memberi kebebasan swasta untuk memperoleh superprofit (bukan sekedar profit).
Mereka berpendapat bahwa peran pemerintah adalah menyediakan sebuah kerangka dimana rakyat dan masyarakat dapat mengejar tujuan-tujuan mereka, negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum maupun memikul tanggung-jawab untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apapun juga. Mereka, serempak melakukan pemotongan atas beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan, yang menurut mereka telah mengikis insentif ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks yang demikian Margaret Thatcher terpilih sebagai PM Inggris pada tahun 1979, dan Ronald Reagan yang terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 1980, dengan antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi negara.
Dibawah kepemimpinan dua tokoh baru ini terjadilah pergeseran prioritas secara jelas, peran pemerintah secara fundamental berubah dengan cepat, meninggalkan komitmen pemerintah dalam welfare state dan full employment dengan lebih mementingkan pelayanan swasta dibanding publik. Walaupun antara kedua pemimpin ini terdapat beberapa perbedaan, Thatcher memakai moneterisme dengan menekankan kontrol ketat atas money supply, sedangkan Reagan memakai supply-side dengan memberikan insentif sebesar-besarnya bagi produksi.
Berdasarkan kebijakan sistem ekonomi yang diterapkan Ronald Reagen, Amerika Serikat, memulai abad baru periode terpanjang pertumbuhan ekonomi sepanjang sejarah dengan angka pengangguran terkecil sepanjang 30 tahun, sekaligus surplus anggaran untuk pertamakalinya selama 42 tahun terakhir. Perusahaan-perusahaan USA menikmati pertumbuhan yang sangat luar biasa, dan para CEO dibayar sangat mahal atas jasanya dalam mengawal korporasi-korporasi di masa booming ekonomi. Michael Eisner bos Disney berpendapatan 576 juta USD, Mel Karmazin sebagai bos CBS digaji sebesar 200 juta USD pada tahun 1998. Bangsa AS menyandang gelar sebagai bangsa pedagang saham sehari/daytrades, makin banyak rumah tangga yang berjudi dengan surplus uangnya dan menggantungkan diri pada saham yang dianggap sepertinya bakal akan terus berkembang.
Di Inggris, Proporsi penduduk yang memiliki tempat tinggal sendiri melonjak dari sekitar separo pada tahun 1980 menjadi dua pertiga pada akhir masa kepemimpinan Thatcher. Angka pengangguran berada pada tingkat terendah sejak tahun 1980. Kebanyakan penduduk Inggris memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Membelanjakan lebih dari 56 juta USD untuk berlibur empat hari ke luar negeri menjadi hal biasa bagi penduduk Inggris pada tahun 1998. Dalam satu dekade saja, jumlah pemegang saham telah melonjak melebihi jumlah anggota serikat buruh. Kapitalisme menjadi populer, setiap orang ingin ikut ambil bagian dalam kesuksesan Thatcherisme dalam bidang ekonomi. Mereka yakin bahwa korporasi yang berhasil dan tak terhambat akan membangun jalan menuju Nirwana.
Dominasi dan hegemoni paham neo-liberalisme tersebut, kemudian mulai terusik kembali, ketika serentetan krisis demi krisis yang terjadi, membuka mata bahwa pola Neo-Liberalisme ini pun ternyata telah gagal merekonstruksi pemembangun ekonomi dunia. Puncaknya terjadi saat ini dimana induk Kapitalisme sendiri, yakni Amerika Serikat justru diserang gelembung krisis yang semakin parah yang tentu saja memaksan mereka untuk bepikir keluar dari krisis tersebut.
Salah satu hal yang cukup mengherankan dalam cara menyelesaikan krisis hari ini adalah, tindakan pemerintah AS, melalui presiden terpilih, Barrack Obama, untuk mengembalikan kejayaan era ekonomi “keynesian“. Salah satu yang menonjol dari pengagum ekonomi ini adalah, kecenderungan untuk mengembalikan peran negara dalam sistem ekonomi, yang pada prinsipnya selama ini telah dilepas secara bebas dalam mekanisme pasar (free market competition), atau yang lebih umum kita kenal sebagai model liberalisasi keuangan . Faktanya, beberapa perusahaan sektor keuangan, menjadi target penguasaan kembali oleh pemerintah. Diantaranya adalah American International Group (AIG), yang merupakan perusahaan asuransi terbesar dunia asal Amerika. Bahkan beberapa pengamat ekonomi dunia menyebutnya sebagai tindakan yang tak ubahnya seperti rezim sosialis.
Pergeseran stigma Neo-liberal inipun kian nampak terlihat ketika digelar pertemuan G-20 yang pada intinya membahas tentang penyelesaian kiris internasional yang sedang terjadi di induk kapitalisme, Amerika. Isu yang bekembang dalam pertemuan inipun lebih kepada isu-isu bidang keuangan yang salah satunya adalah upaya untuk mendorong reformasi internal lembaga-lembaga keuangan internasional yang kemudian dikenal dengan istilah “Bretton Woods Institute“, diantaranya ; IMF, World Bank. Yang menjadi menarik kemudian adalah, terjadinya polarisasi ditingkatan negara-negara maju terkait pola dan sistem ekonomi dunia saat ini. Negara-negara eropa bahkan menyebut krisis hari ini sebagai kegagalan sistem ekonomi pasar bebas. Upaya untuk mendorong dan mengembalikan masa keemasan “walfare state“-pun terus dilakukan. Negara-negara eropa ini mengajukan fakta yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kebuasan sistem pasar bebas ini.
Apakah welfare state, dapat dipandang sebagai alternatif untuk membangun sistem ekonomi yang lebih baik? Sehubungan dengan semakin menguatnya trend penerapan kembali welfare state, di taratan ekonomi gobal, maka pada paragrap-paragarp dibawah ini akan dideskripsikan bagaimana penerapan sitem welfare state di berapa negara, untuk mengetahui bagaimana eksistensi dari sistem ini.
B. welfare state : Sebuah Deskripsi Konsepsional
Konsep negara kesejahteraan pada dasanya tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Negara kesejahteraan juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik . Akan tetapi konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis.
Istilah welfare state dimunculkan pertama kali oleh Uskup Agung York pada tahun 1940-an, sebagai antitesis dari program warfare state (negara perang) Nazi. Namun cikal bakal welfare state telah dimulai oleh sejumlah tokoh karismatis seperti Bissmark (Jerman), Von Tappe (Austria), dan Napoleon III (Perancis) dengan memberlakukan sistem jaminan sosial bagi pegawai pemerintah dan kelompok pekerja industri. Sementara di Inggris, sistem welfare ditandai dengan lahirnya UU Penanggulangan Kemiskinan ( Poor Law ) pada tahun 1880-an .
Setelah Perang Dunia II, welfare state menjadi produk demokrasi multi partai atau kebijakan koalisi partai politik yang memerintah, untuk menciptakan warga negara dan angkatan kerja yang terdidik, sehat dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi.
Di negara-negara Barat, konsep welfare state sering dipandang sebagai strategi untuk mengeleminir dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Dalam konteks ini, Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai “a form of society characterised by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system of production”. Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state, sedangkan negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis.
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18, ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk.
Menurut Bentham, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want (keinginan), squalor (kemelaratan), ignorance (kebodohan), disease (sakit) dan idleness (kemalasan) sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi . Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Hanya saja dalam beberapa hal, sistem ini memiliki kekurangan. Sistem yang berpijak pada prinsip dan skema asuransi ini, ternyata tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Jaminan sosial melalui skema asuransi sosial ini gagal merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara . Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensikonsekuensi kapitalisme.
Titmuss mendeskripsikan ide negara kesejahteraan dengan menyatakan bahwa: “a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people”. ( negara kesejahteraan adalah sebuah negara di mana kekuasaan terorganisasi sengaja digunakan melalui politik dan administrasi di upaya untuk memodifikasi permainan kekuatan pasar untuk mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi kesejahteraan rakyat)
Berdasarkan pendapat dari Titmuss tersebut, dapatlah diketahui adanya tiga unsur dalam konsep welfare state, yaitu: Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.
Apa yang dikemukan oleh Titmuss sebagaimana terdeskripsi di atas, pada dasarnya ingin menunjukan adanya pergeseran arah dan perkembangan peran negara, sebagai akibat proses modernisasi dan demokratisasi sistem pemerintahan negara. Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal state dan akhirnya Welfare state. Ketiga faham tersebut semuanya memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki negara sebagai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Negara welfare state muncul sebagai jawaban atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem ekonomi liberal. Pada faham Negara Kesejahteraan sudah dikenal adanya pembagian (distribution) dan pemisahan (separation) kekuasaan. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
Konsep negara kesejahteraan pada dasarnya ingin menegaskan bahwa, dalam suatu pemerintahan yang demokratis, negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal. Pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality).
Khusus dalam bidang ekonomi, dalam konteks welfare state ada 4 fungsi negara, yaitu sebagai penjamin (provider) kesejahteraan rakyat, negara sebagai pengatur (regulator), negara sebagai pengusaha (entrepreneur) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan negara sebagai wasit (umpire) untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (state corporation). Fungsi negara seperti yang dikatakan oleh W. Friedmenn tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya dalam faham negara kesejahteraan negara boleh campur tangan dalam bidang perekonomian .
Menurut Esping Andersen, negara kesejahteraan dibangun atas dasar nilai-nilai sosial, seperti: kewarganegaraan sosial; demokrasi penuh; sistem hubungan industrial modern, serta; hak atas pendidikan dan perluasan pendidikan massal yang modern.
Produksi dan penyediaan kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Hingga saat ini, negara kesejahteraan telah dianut oleh sejumlah negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni :
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
C. Negara Kesejateraan: Sebuah Deskripsi Praxis
1. Pengalaman Negara-negara Skandinavia.
Negara-negara Skandinavia seperti: Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia dan Eslandia merupakan negara yang telah lama menganut faham rezim kesejahteraan sosial demokrat. Dimana kunci perkembangannya ada pada posisi kaum petani yang relatif kuat pada masa pra-industri, sehingga kelas petani mampu mendiktekan agenda kebijakan sosial yang tidak hanya mencakup perlindungan terhadap kelas pekerja urban, tetapi juga kepentingan kelas petani pedesaan. Hal inilah yang mendorong berkembanganya rezim kesejahteraan yang lebih universal.
Selain itu fusi antara gereja dan birokrasi negara yang kuat sejak tahun 1500-an juga telah menciptakan minat publik yang lebih koheren dan kuat terhadap isu kesejahteraan. Faktor ketiga yang juga mempengaruhi adalah homogenitas kultural di antara negara-negara skandinavia baik dalam etnik, agama maupun bahasa. Perkembangan ini kemudian semakin dipicu dengan munculnya undang-undang tentang jaminan sosial pada tahun 1880 di Jerman sehingga dalam kurun waktu 1891-1898 tiga negara Skandinavia juga mengesahkan undang-undang pertama mereka tentang jaminan sosial yang meliputi jaminan pensiun hari tua, asuransi kesehatan dan kompensasi atas kecelakaan kerja.
Diseluruh negara skandinavia ini, diberlakukannya pungutan pajak yang tinggi bagi warga negaranya, dan disertai pengeluaran anggaran belanja publik yang besar oleh negara. Dari penerimaan pajak inilah negara dapat menjalankan konsep Ekonomi Negara Kesejahteraan dengan baik yang kemudian setiap warganya mendapatkan manfaat yang besar darinya berupa pelayanan publik dan jaminan sosial yang tinggi seperti subsidi pendidikan, tunjangan pengangguran dan hari tua, rehabilitasi sosial, dan tunjangan kesehatan. Di negara-negara Skandinavia, belanja negara untuk jaminan sosial dan pelayanan publik mencapai lebih dari 60 % dari total anggaran negara
Krisis yang mulai dirasakan oleh negara-negara skandinavia pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an telah memaksa mereka untuk berusaha memulihkan keseimbangan fiskalnya melalui reformasi perpajakan, efesiensi pelayanan kebutuhan dasar dan restrukturisasi sistem jaminan sosial. Secara simultan mereka melakukan:
a. Penurunan tingkat pajak marginal (marjinal tax rates)
b. Perampingan sistem pensiun dan membuatnya lebih fleksibel
c. Pengetatan persyaratan bagi penerima jaminan pengangguran
d. Dan pengetatan persyaratan bagi penerima asuransi kesehatan.
Restrukturisasi yang dilakukan lebih pada penyesuaian program dengan besarnya anggaran yang ada dimana reformasi kebijakan jaminan sosial dan kesejahteraan dilakukan dengan cara yang tidak menyebabkan peningkatan kemiskinan ataupun kesenjangan pendapatan.
Swedia, untuk mempertahankan sistem welfare state di Swedia, warganya banyak berusaha dan berprofesi di bidang pengembangan sumber daya alam (SDA), seperti sektor kehutanan, industri otomotif, dan teknologi. Swedia adalah negara yang memiliki kekayaan SDA seperti kayu, bijih besi dan gandum. Karena sumber daya manusianya memiliki keterampilan yang tinggi, maka Swedia juga terkenal unggul dalam teknologi navigasi kapal laut (sebagai contoh perusahaan galangan kapal laut di Gottenbourg), industri otomotif, misalnya Volvo, dan telekomunikasi (perusahaan Sony-Ericsson). Dari perusahaan-perusahaan ini, negara memperoleh penerimaan pajak yang besar untuk kemudian dikelola dan dibelanjakan oleh negara dalam bentuk jaminan sosial dan pelayanan publik kepada warganya. Dalam perkembangannya, sistem welfare state di Swedia menghadapi masalah-masalah seperti adanya tingkat pengangguran yang tinggi, misalnya, pada Agustus 2006 lalu, tingkat pengangguran mencapai 5-6%. Untuk mengatasinya, PM Swedia pada masa itu,yakni Frederick Reinfeldt,telah mengeluarkan kebijakan ekonomi berupa pemotongan tingkat pajak senilai $1,01 billion untuk pajak penghasilan bagi kalangan berpenghasilan rendah dan menengah. Harapannya dengan adanya pemotongan pajak, pengusaha kecil dan menengah terdorong untuk melakukan ekspansi usaha yang berarti kesempatan kerja baru akan lahir sehingga dapat menampung angkatan kerja yang menganggur.
Model Swedia dapat dilihat sebagai bentuk ideal dari konsep kesejahteraan yang diberlakukan oleh negara-negara lain di Eropa. Model ini menawarkan perlindungan institusional dalam artian model ini menawarkan suatu konsep penyejahteraan yang lingkupnya lebih luas bagi masyarakatnya. Model ini bisa dianggap lebih baik dari model yang dijalankan oleh Inggris dalam terutama dalam komitmennya untuk persamaan perlakukan terhadap seluruh warga negaranya (kesetaraan / equality). Perlindungan sosial tidak lagi diasosiasikan dengan persamaan. Sistem kesejahteraan di Swedia melihat konsep ini dengan jangkauan yang lebih luas dari negara lainnya walaupun masih memperlihatkan persamaan karakteristik. Ringen menggambarkan bahwa sistem ini seperti ‘selective by occupational experience’ yang mengetengahkan kepentingan dari adanya persamaan, kadang diidentifikasi dengan konsep solidaritas dengan kerjasama yang telah diatur sedemikian rupa. Model ini juga disebut ‘solidaristic wage policy’.
Tidak jauh berbeda dengan Swedia, Norwegia merupakan salah satu negara yang masih percaya pada mekanisme negara kesejahteraan (welfare state). Selama ini negara-negara tersebut selalu berada dalam peringkat atas HDI. Peringkat tinggi yang dicapai negara-negara Skandinavia tersebut sebenarnya tak terlalu mengherankan apabila dilihat dari aspek kemampuan ekonomi negara dan mapannya sistem pengelolaan jaminan sosial lewat model welfare state.
Asumsi yang mendasar dari model ini adalah bahwa pasar kapitalis memiliki logika yang sekedar mencari keuntungan ekonomi. Implikasinya pasar dianggap tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial. Sementara di sisi lain negara dianggap ada dan didesain untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Dengan begitu maka negara menjadi institusi utama yang mesti berperan dalam menjalankan pelayanan publik.
Dengan sistem ini maka dimaksudkan bahwa negara memiliki tujuan untuk memastikan bahwa seluruh warga negara mendapatkan keamanan ekonomi dan keamanan sosial (social and economic safety). Negara juga menjamin bahwa semua warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan, tanpa memperhatikan kelas sosial atau pendapatan ekonominya.
Norwegia mulai menerapkan sistem kesejahteraan ini pada tahun 1909 dalam sektor kesehatan, dimana warga negara yang memiliki pendapatan rendah akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis ketika mereka sakit. Sistem ini dimapankan pada periode pasca Perang Dunia II di Norwegia, dan juga di berbagai negara Eropa, sebagai respon dari krisis kapitalisme pada tahun 1930-an. Pasar kapitalisme dianggap bermasalah dalam mewujudkan kesejahteraan, sehingga intervensi negara dalam ekonomi dianggap penting.
Sistem kesejahteraan pasca perang di Norwegia sangat dipengaruhi gagasan ini, selain didorong juga oleh adanya motif membangun kembali solidaritas nasional akibat perang. Pada masa pasca perang, partai-partai politik yang ada melakukan politik kompromi dan kerja sama. Roda pemerintahan dijalankan oleh Partai Pekerja (arbeidsparti) yang didukung partai-partai lain. Ada semacam kesepakatan umum di antara partai-partai tersebut mengenai persoalan bagaimana negara akan direkonstruksi kembali setelah porak-poranda karena perang. Mereka percaya bahwa negara mesti bertanggungjawab terhadap kesejahteraan publik dan menjamin distribusi ekonomi.
Meskipun perekonomian Norwegia pada waktu itu belumlah kuat seperti sekarang, akan tetapi ada keinginan yang kuat untuk menempatkan aspek distribusi ekonomi sebagai basis pembangunan.
Ketika di akhir tahun 1960-an ditemukan minyak di lepas pantai Norwegia, maka sistem kesejahteraan semakin mantap. Kini Norwegia menjadi negara kedua setelah Arab Saudi yang menjadi pengekspor minyak terbesar di dunia. Pengelolaan penghasilan dari minyak sejak tahun 1970-an itulah yang hingga sekarang dimanfaatkan untuk mengelola jaminan kesejahteraan untuk publik.
Meskipun arus ideologi neoliberal juga menerpa kencang belahan Eropa Utara, akan tetapi pembuat kebijakan dan publik di Norwegia pada umumnya masih meyakini bahwa negara harus tetap menjadi agen utama yang mendistribusikan kesejahteraan kepada warganya. Jaminan sosial oleh negara untuk publik justru semakin hari semakin mantap
Pajak adalah salah satu sektor penting yang menyangga perekonomian di Norwegia. Tingkat pajak di Norwegia memang salah satu yang tertinggi di dunia. Akan tetapi akuntabilitas pengelolaan pajak sebagai mekanisme distribusi ekonomi juga sangat tinggi. Dengan didukung pendapatan dari minyak bumi, negara mendisain jaminan-jaminan sosial yang mendukung meningkatnya kualitas hidup warganya.
Pelayanan pendidikan secara umum dijalankan gratis. Negara memberikan pembebasan biaya pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Bersama dengan sektor kesehatan, sektor pendidikan menjadi salah satu sektor dengan belanja terbesar. Negara dan masarakat percaya bahwa pembangunan kualitas hidup harus dimulai dari pendidikan. Slogan pendidikan murah untuk semua nampaknya bukanlah hal yang mengada-ada.
Untuk mendukung program pengembangan pendidikan ini maka pada tahun 1947 negara mendirikan lembaga pembiayaan pendidikan(laanekasse). Lembaga ini memberikan pinjaman ataupun beasiswa kepada warga negara untuk kepentingan pendidikannya, misalnya menempuh pendidikan di negara lain.
Sementara di sektor kesehatan negara juga berperan dominan, meskipun pelayanan privat juga mulai bermunculan. Rata-rata pengeluaran negara per penduduk dalam sektor kesehatan di Norwegia adalah yang terbesar di Eropa. Pelayanan di rumah sakit dijalankan secara gratis, meski dalam level yang rendah orang mesti membayar biaya administrasi. Namun begitu, obat tetap menjadi tanggung jawab pasien. Hanya saja ketika harga obat dirasa mahal pasien bisa meminta dokter untuk menuliskan “resep biru”. Dengan cara ini maka biaya obat yang mahal sebagian besar akan ditanggung negara.
Terobosan dalam pelayanan kesehatan yang paling mutakhir adalah fastelegeorningen. Ini adalah kebijakan negara yang mengatur bahwa setiap penduduk memiliki hak untuk mempunyai atau mendapat pelayanan dokter secara pribadi. Tiap orang “memiliki” dokter sendiri. Dengan begitu maka tiap orang mendapatkan kesempatan untuk mengakses pelayanan kesehatan secara cepat tanpa harus mengantri di rumah sakit.
Negara juga memberi jaminan ekonomi kepada mereka yang menghadapi persoalan dengan usia, kesehatan, ataupun pekerjaannya. Orang bisa mendapatkan dagpenger ketika ia kehilangan pekerjaan. Artinya negara akan memberikan jaminan keuangan kepada yang bersangkutan yang besarannya tergantung pada seberapa besar pendapatannya selama ini dan seberapa banyak yang dinafkahinya. Jaminan ini berlaku maksimal sampai 156 minggu. Dalam masa itu ia harus mencari kerja lagi.
Jaminan ekonomi juga kepada penyandang cacat yang tak bisa bekerja dan orang-orang tua yang sudah pensiun. Meski mendapatkan jaminan ekonomi, para penyandang cacat itu diwajibkan mengikuti semacam pelatihan kerja sesuai dengan kemampuannya sehinga diharapkan ia bisa bekerja dengan apa yang ia bisa.
Model pengelolaan jaminan sosial di Norwegia dalam banyak hal memang telah terbukti meningkatkan kualitas hidup warganya. Akan tetapi di sini negara berperan dominan dalam kehidupan publik. Penganut liberalisme selalu mengkritik bahwa cara semacam ini hanya akan menjadikan masyarakat tidak mandiri dan tergantung kepada negara. Memang perdebatan semacam ini hanyalah perdebatan ideologis tentang bagaimana negara harus berperan. Lepas dari itu bukankah negara memang bertujuan untuk mensejahterakan publik?
2. Pengalaman Negara Jerman.
Jerman merupakan negara yang menganut faham rezim kesejahteraan konservatif. Rezim ini sangat dipengaruhi oleh karakter korporatisme gereja katolik yang menekankan prinsip familialism (peran aktif keluarga sebagai penyedia kesejahteraan). Konsep ini ditandai dengan dikotomi antara laki-laki (pencari nafkah/ sektor publik) dan perempuan sebagai penyedia jasa sosial dalam keluarga (sektor domestik). Basis dukungan politik kanan tengah yang didominasi oleh partai-partai kristen demokrat sangat mempengaruhi rezim kesejahteraan Jerman. Hal inilah yang menyebabkan rezim kesejahteraan konservatif lebih bersifat korporatis -segregatif .
Ciri-ciri rezim ini adalah tingkat pengeluaran publik sangat besar untuk mentransfer kesejahteraan, terutama jaminan pensiun. Keterbatasan kesempatan kerja mendorong proses pergiliran kerja melalui skema pensiun dini dan tunjangan pengangguran yang komprehensif. Kebijak-kebijakan implisit dan eksplisit yang diskriminatif dan mempersulit partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja serta jaminan sosial dan pensiun yang sangat tersegregasi antar jenis pekerjaan.
Perjalanan negara kesejahteraan di Jerman dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu periode Legislasi Bismarck, periode Republik Wiemar dan periode pasca Perang Dunia II.
Pada periode Bismarck, Bismarck sendiri ketika mengagas sistem jaminan sosial tidak bertujuan untuk mewujudkan welfare state melainkan welfare monarchy. Skema jaminan sosial yang ditawarkan sebenarnya hanya sebagai sebuah bentuk kompensasi bagi kelompok pekerja kelas atas karena keterbatasan hak-hak mereka di bawah monarki Jerman.
Format ini cenderung sentralistik dan mengandalkan pembiayaan dari sektor pajak. Sehingga pada akhirnya tidak hanya menyebabkan tarik menarik antar kepentingan dan menjadi sumber segregasi antara pusat (reich) dan negara bagian (lander) akan tetapi juga berbenturan dengan sistem politik di Jerman saat itu dimana setiap negara bagian mempunyai hak veto untuk setiap keputusan. Dan lagi beban anggaran tidak sesuai dengan kemampuan pusat dalam penarikan pajak, sehingga pada akhirnya sistem jaminan sosial yang universal bagi pekerja kelas atas dan kelas bawah memang tidak mungkin terbentuk.
Pada tahun 1880-an Kanselir Otto von Bismarck mendirikan program asuransi wajib kesehatan, kecelakaan, hari tua dan cacat. Motif lembaga ini tidak semata-mata bersfat altruistik. Meskipun tidak terlalu berhasil, akan tetapi dasar-dasar kebijakan Bismarck ini telah dapat meletakkan dasar untuk sistem kesejahteraan sosial di Jerman .
Pada periode Weimar, negara kesejahteraan mendapat legitimasi yang kuat melalui konstitusi Weimar. Koalisi antara partai-partai politik di Jerman menjadi sendi bagi penempatan kebijakan sosial sebagai prioritas pemerintahan. Negara kesejahteraan dalam periode Weimar ini berkembang semakin independen. Hal ini menempatkan rezim kesejahteraan Jerman mampu bertahan bahkan pada masa pemerintahan Nazi pra perang dunia II.
Pada saat diberlakukan hingga Perang Dunia I berkahir, konsep kesahteraan sosial di Jerman bertumpu pada asuransi sosial yang terbatas pada kelas pekerja (termasuk di dalamnya pekerja berkerah putih). Perluasan terhadap progran ini terjadi pada tahun 1920, ketikan Weimar, mengeluarkan kebijakan asuransi pengangguran pada tahun 1927, dan serta memperbaiki kebijakan perawatan kesehatan dan ketentuan usia tua.
Pasca Perang dunia II, negara kesejahteraan di Jerman semakin dicirikan dengan adanya sistem asuransi sosial yang komprehensif yang bertumpu pada sistem pensiun namun tidak diimbangi dengan penyediaan jasa sosial yang berbasis luas. Sektor jasa tidak berkembang, kesempatan kerja termasuk kesempatan kerja bagi perempuan sangat terbatas dimana terjadi trade off (pengorbanan) yang signifikan antara kesempatan kerja dengan fertilitas.
Perubahan besar berikutnya terjadi pada tahun 1957, ketika Kanselir Konrad Adenauer melakukan reformasi dalam kebijakan bagi para pensiunan, yang telah berkontribusi selama hidup mereka bekerja. Sistem baru ini meninggalkan sistem Bismarck sebelumnya yang hanya dirancang untuk keluar dari kemiskinan yang parah serta membantu para lanjut usia. Dengan kebijakan yang baru ini, kebijakan tentang dana pensiun dikaitkan dengan upah masa lalu dan peningkatan jumlah pembayaran digabungkan dengan tingkat upah yang terus meningkat.
Skema pembiayaan retirees ini diambil dari para majikan dan kontribusi karyawan dihitung sebagai persentase upah bruto, melalui model the “pay-as-you-go”. Sistem ini memberikan manfaat pensiun yang saat ini, mencapai rata-rata sekitar 70 persen dari upah sebelumnya. Sistem ini tetap terus berjalan dengan baik hingga awal 1970-an, bahkan terus meningkat. Hal ini tercermin dalam fakta bahwa pada tahun 1970, total sosial kontribusinya sekitar 26 persen dari gaji kotor. Dua puluh tahun kemudian, mereka mendekati 40 persen .
Model negara kesejahteraan Jerman ini sering diterjemahkan sebagai “ekonomi pasar sosial”, dengan prinsip-prinsip: pertama, pembangunan ekonomi merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial. Struktur pelayanan sosial harus merefleksikan prioritas ini. Prinsip ini terlihat jelas dalam pemberian pelayanan kepada setiap warga negara dalam pasar tenaga kerja. Kedua, ekonomi Jerman, dan sistem kesejahteraan dikembangkan melalui struktur korporasi. Prinsip ini dikembangkan oleh Bismarck atas dasar asosiasi yang saling membantu, dan tetap menjadi dasar bagi perlindungan sosial selanjutnya. Asuransi sosial, yang mencakup biaya kesehatan, beberapa perawatan sosial dan sistem pemeliharaan penghasilan, dikelola dengan sistem dana independen. Ketiga, ada penekanan kuat pada prinsip “subsidiaritas”. Prinsip yang diambil di Jerman adalah bahwa layanan harus didesentralisasikan atau dikelola secara independen, dan bahwa tingkat intervensi negara terbatas pada keadaan yang tidak cukup ditutupi dengan cara lain.
Tantangan terbesar negara kesejahteraan di Jerman pasca perang dunia II ini adalah:
a. Terhalangnya perluasan kesempatan kerja baik di sektor swasta maupun disektor publik karena standar upah yang tinggi serta terciptanya fiscal overload.
b. Perlunya melakukan upaya cost containment untuk program-program jaminan sosial utama seperti pensiun dan jaminan kesehatan dan disability.
Namun terlepas dari itu, Jerman telah mencatat capaian yang cukup baik dimana Jerman berhasil mempertahankan besaran porsi belanja sosialnya dalam PBD tanpa harus memotong drastis tunjangan sosial bagi kaum miskin dan di saat yang sama berhasil melakukan berbagai kebijakan rekalibrasi yang penting dalam struktur dasar negara kesejahteraannya.
3. Pengalaman Negara Inggris.
Inggris merupakan negara kesejahteraan dengan dinamika yang unik, hal ini disebabkan Inggris merupakan satu-satunya negara kesejahteraan di Eropa yang mengalami restrukturisasi radikal. Pada awalnya, pasca Perang Dunia II, Inggris identik dengan rezim sosial demokrat yang universal. Namun pasca krisis minyak tahun 1973 Inggris kemudian lebih bersandar pada peran pasar dalam rezim kesejahteraan.
Menurut Barr terdapat empat tahapan negara kesejahteraan di Inggris yaitu periode poor relief, periode reformasi liberal, periode pasca Perang Dunia II dan periode pasca 1970 .
Periode poor relief ditandai dengan diundangkannya Poor Act Law yang memberikan perlindungan sosial bagi kaum impotent poor yaitu manula dan penderita sakit dalam almshouses. Memberikan kesempatan kerja bagi kaum miskin (able bodied) dalam house of correction serta memberikan hukuman bagi yang menolak. Hukum ini kemudian dimodifikasi pada tahun 1834 melalui the Poor Law Amandement Act. Amandemen ini mencakup tiga prinsip utama, yaitu: (a) pembatasan bantuan pada jumlah tertentu sehingga yang diberi bantuan tidak lebih sejahtera dibandingkan mereka yang bekerja; (b) penerima bantuan juga harus tinggal di workhouse dan; (c) sentralisasi administratif. Undang-undang ini juga dibarengi dengan undang-undang yang mengatur pelayanan pendidikan umum melalui wajib belajar usia dini dan pelayanan pendidikan gratis.
Periode Masa Reformasi Liberal yang ditandai dengan bangkitnya kolektifitas di Inggris pada tahun 1906-1914. Munculnya kesadaran bahwa kemiskinan lebih dari sekedar masalah moral dan kebebasan individu. Hal ini menciptakan cara pandang baru terhadap peran negara dalam memainkan perannya dalam reformasi sosial. Pengesahan National Insurance Act tahun 1911, menyebabkan praktik workhouse mulai ditinggalkan dan digantikan dengan sistem asuransi yang lebih universal. Masa ini juga ditandai dengan pengesahan beberapa undang-undang jaminan sosial lainnya seperti Education Act, Children Act, Old Age Pension serta Trade Board Act.
Periode pasca perang dunia II, pasca perang dunia II membuat Inggris semakin menerima konsep universalisme dimana laporan Beveridge menjadi landasan penting perkembangan rezim kesejahteraan selanjutnya. Beveridge mengusulkan agar dilakukan penataan ulang sistem jaminan sosial menjadi satu strategi yang koheren, perluasan cakupan kerja dan prinsip parsimoni guna menghindari kebutuhan mean-test bagi penerima benefit. Hal ini semakin menegaskan universalisme dalam memberikan jaring pengaman sosial bagi mereka yang tidak dijamin oleh sistem asuransi yang ada.
Namun gambaran ini berubah pada akhir tahun 1970-an, dimana Thatcher memandang format negara kesejahteraan di Inggris ini sebagai akar masalah. Orientasi pemerintah beralih pada efisiensi, insentif pasar tenaga kerja dan pengetatan fiskal. Jaminan pengangguran secara bertahap dikurangi, sistem benefit tidak lagi dikaitkan dengan pendapatan tapi terhadap perubahan harga dan secara periodik dimodifikasi dari universal menjadi mean-tasted. Rekomodifikasi merupakan strategi yang konsisten dengan sistem pasar bebas yang menjadi patokan dasar rezim kesejahteraan liberal.
Faktor pendorong terjadinya rezim kesejahteraan di Inggris menjadi neo liberal menurut pierson disebabkan oleh anjloknya kredibilitas negara kesejahteraan keynesian pasca krisi minyak tahun 1973 dan melemahnya kapasitas politik kelompok pronegara kesejahteraan disamping terjadinya perubahan sistem pengambilan keputusan di parlemen. Lebih jauh lagi perubahan radikal ini dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang didominasi oleh kompetisi bipolar kelompok sosial demokrat dengan kelompok liberal. Hasilnya memang tidak mengecewakan, dimana pendapatan riil masyarakat meningkat dengan sangat signifikan walaupun disisi lain tingkat kesenjangan menjadi lebih tinggi.
Kasus kedua terjadi di Inggris. Asa Briggs, di dalam sebuah esai klasik tentang konsep kesejahteraan Inggris, mengidentifikasi tiga prinsip yang digunakan sebagai elemen dari format kesejahteraan negara ini. Diantaranya adalah sebuah jaminan dari standar minimum termaasuk minimnya pendapatan, perlindungan sosial dari ketidakamanan, dan tersedianya pelayanan terbaik jika memungkinkan. Dari prinsip-prinsip yang diterapkan ini, Inggris menekankan bahwa model ini disebut sebagai institusional model kesejahteraan yang kunci elemennya adalah perlindungan sosial dan penyediaan layanan kesejahteraan yang berbasis pada hak asasi manusia atau warga negara. Namun hal berbeda terjadi di dalam fakta di lapangan. Konsep kesejahteraan sosial di Inggris tidak berlaku secara sempurna. Fakta menunjukkan bahwa sistem perlindungan memang dilancarkan secara luas meliputi berbagai bidang, tapi keuntungan dan pelayanan yang dikirimkan masih berada dalam taraf rendah. Perlindungan sosial yang disediakan tidak merata dan pelayanan terhadap kebutuhan utama masyarakat masih dijatah secara ketat.
4. Pengalaman Negara Selandia Baru
Selandia Baru memang tidak menganut model ideal konsep negara kesejahteraan yang secara teori dianggap paling baik, seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan konsep negara kesejahteraan di negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Hal yang unik dalam sistem ini adalah sifat tidak berdiri sendiri, yang mengandalkan integrasi kesejahteraan dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial, misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
Penerapan konsep negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1930, ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi perdana menteri tahun 1935, menerapkan negara kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan Stenson: “The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security should be.”
Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur urusan sosial.
Anggaran untuk jaminan dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai 36% dari seluruh total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan, kesehatan maupun Hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau swasta. Orang cacat dan penganggur selain menerima social benefit sekitar NZ$400 setiap dua minggu (fortnightly), juga memperoleh pelatihan dalam pusat-pusat rehabilitasi sosial yang profesional.
5. Pengalaman Negara Amerika Latin, Jepang dan Asia Timur
Ekperimentasi negara kesejahteraan di Amerika Latin dikelompokan menjadi tiga yaitu: kelompok regional pioneer ( Argentina, Brazil, Chile, Kosta Rika dan Uruguay) Sistem jaminan yang dibangun terbatas, tersegmentasi, dan tidak setara dimana militer dan pegawai negeri sipil menjadi previlleged groups . Kelompok kedua adalah kelompok intermediate (Bolivia, Kolombia, Ekuador, Meksiko, Panama, Paraguay, Peru dan Venezuela) dimana cakupan jaminan sosialnya lebih terbatas dibandingkan kelompok pertama. Kelompok terakhir latecomers (Republik Domonika, El Savador, Guatemala, Haiti, Honduras dan Nikaragua) dimana cakupan jaminan sosialnya juga sangat terbatas karena tidak mencakup jaminan pengangguran dan tunjangan keluarga. Sistem jaminan sosial yang dibangun di Amerika Latin miskin gagasan dan miskin dukungan basis politik .
Ekperimentasi yang terjadi di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan merupakan hasil konsolidasi jaminan sosial yang berpatron pada Amerika Serikat. Sementara itu Jepang memiliki sistem kesejahteraan sosial sendiri yang dikenal dengan Nihongata shakai fukusi yang dicirikan oleh sistem jaminan sosia yang tersegregasi berdasarkan pekerjaan dan peran keluarga sebagai penyedia jasa kesejahteraan sosial. Demikian pula dengan Taiwan. Kesejahteraan sosial bukanlah prioritas tetapi dianggap sebagai turunan dari peningkatan ekonomi. Bila ekonomi meningkat maka kesejahteraanpun pasti meningkat. Secara konsep, model yang diterapkan di negara Asia Timur ini merupakan replikasi model Eropa dan bahkan format Jepang merupa pencampuran dari beberapa model yang ada .
Sementara itu negara-negara berkembang di Asia Tenggara (Malaysia, Thailan, dan Indonesia) memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam mereplikasi model-model yang berkembang di Eropa. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem kesejahteraan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial akan mempengaruhi kapasitas negara tersebut dalam pengembangan sistem perlindungan sosial pasca kemerdekaan mereka. Faktor yang mempersulit ini menurut Gough adalah: Persoalan demokrasi dan masyarakat sipil; Iklim dunia usaha yang lebih terbuka bagi modal asing; Kekuatan pekerja lemah dan terpecah-pecah; Peran sektor pertanian yang kuat sehingga melemahkan integrasi sosial kelas pekerja; Peran negara, legitimasi dan kebijakan sosial yang bersifat bonapartist bagi para elite dan kelompok tertentu; Keterikatan kelembagaan yang sangat terkait dengan pengalaman penjajahan.
D. Negara Kesejateraan: Beberapa Implikasi Negatif
Konsep dan praxis konsep welfare state, dengan berbagai variasi diatas, meskipun tidak dapat dipungkiri memilki berbagai segi kebaikan, akan tetapi menurut Goran Adamson, mengandung pula berbagai kelemahan. Syarat yang harus dipenuhi agar konsep welfare state bejalan dengan baik adalah : (1) Sistem perpajakan yang baik; (2) bila Kalau terdapat banyak UKM maka tingkat kesejahteraan akan semakin kecil (pengaruh dari tax sistem); (3) Adanya social trust yang besar, tanpa ada social trust maka tidak ada pembayar pajak; (4) Perlu adanya serikat pekerja yang kuat; (5) Penduduknya harus homogen (populasi yang tersebar harus homogen baik etnis maupun agama); (6) Adanya institusi sosial yang kuat. Institusi sosial yang kuat akan membuat masyarakat terbiasa dengan rules of the game yang diciptakan oleh pemerintah. Institusi sosial merupakan struktur dasar masyarakat yang berperan dalam menciptakan keteraturan masyarakat.
Menurut Goran Adamson sisi negatif yang mungkin timbul dalam negara kesejahteraan, pemerintah memiliki hak penuh untuk menekan dan memaksa warga negaranya dalam melakukan berbagai hal yang dianggap penting dan wajib oleh Negara. Bentuk paksaan dan tuntutan seperti ini secara langsung membuat warga negara kehilangan kebebasannya. Hal ini menjadi logis, jika mengingat bahwa kebebasan tidak berbanding lurus dengan keselamatan dan keterjaminan. Dalam Negara kesejahteraan, Masalah-masalah yang terjadi dalam sistem Negara kesejahteraan adalah:
a. Tax yang begitu tinggi. Negara kesejahteraan menyediakan berbagai layanan gratis kepada masyarakatnya namun Negara menetapkan angka pajak yang sangat tinggi (di Swedia pajak berkisar di angka 25 persen).
b. Tingkat pengawasan yang tinggi oleh Negara (surveillance).
c. Negara bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh warga negaranya sehingga Negara akan menyalahkan sikap warganegara atas suatu tindakan yang berseberangan dengan aturan Negara.
d. Tidak ada kebebasan. Kebebasan berbanding terbalik dengan keselamatan. Kebebasan adalah kekuatan terbesar seorang individu dan ketika kebebasan secara mutlak bisa didapatkan maka tingkat keselamatan akan semakin rendah .
Selain itu, sisi negatif dari welfare state adalah spirit yang dimiliki warga negaranya cenderung menurun sejak pemerintah telah menjamin keseluruhan hidup mereka (kesehatan, perumahan, pendidikan dan lain-lain). Analogi atau penggambaran sederhananya seperti ini, jika pendapatan suatu warga Negara meningkat maka beban pajak yang dibayar juga akan meningkat. Sedangkan jika mereka tidak bekerja, mereka tidak akan dikenai kewajiban membayar pajak. Jaminan sosial yang disediakan oleh pemerintah sama untuk warga miskin atau warga kaya. Potret sosial seperti ini membentuk satu preseden di tengah masyarakat “buat apa bekerja keras jika akhirnya akan dikenai pajak yang tinggi dan mendapatkan jaminan yang sama dengan warga miskin dari pemerintah?” “Buat apa bekerja keras jika pajak yang dibayarkan, diberikan untuk kaum miskin yang pemalas?” Preseden seperti ini lambat laun namun pasti telah menggerogoti semangat kerja keras yang dimiliki oleh generasi terdahulu.
E. Penutup
Konsep negara kesejahteraan pada dasanya tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Dalam negara kesejahteraan, negara harus mampu memberdayakan masyarakatnya. Nilai penting yang dibawa Negara kesejahteraan adalah mereduksi jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin dengan cara mendistribusikan uang dari si kaya kepada si miskin.
Terdapat empat tipe welfare state, yaitu model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia; , model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria; model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka).
Meskipun tidak dapat dipungkiri memilki berbagai segi kebaikan, akan tetapi konsep dan praxis dari welfare state mengandung pula berbagai kelemahan.
Daftar Pustaka
Adamson. Goran. Negara Kesejahteraan (Welfare State) di Skandinavia. http://www.map.ugm.ac.id/index.php/analisis?start=3
Barr. Nicholas. The Economics of The Welfare State. Stanford: Stanford University Press. 1997.
Berger. Peter L. Revolusi Kapitalis. Mohammad Oemar (Terj.). Jakarta: LP3ES. 1990. hlm.20-21.
Dalton. George. Economic Systems and Society. Capitalism. Communism and the Third World Middlesex. England: Penguin Books. 1977.
Edi Suharto. Pembangunan. Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: LSP Press. 1997
Edi Suharto. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta. 2005.
Edi Suharto. welfare state dan Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Selandia Baru.http://newzeanando.wordpress.com/2008/03/10/welfare-state-dan-pembangunan-kesejahteraan-sosial-di-selandia-baru
Friedman. Wofgang The State and The Rule of Law ini a Mixed Economy. London : Stevens and Sons. 1971.
Harris. John. State Social Work and Social Citizenship in Britain: From Clientelism to Consumerism dalam The British Journal of Social Work. Vol.29. No.6. 1999.
Heertz. Norena. Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme. dalam Neoliberalisme. editor I. Wibowo dan Francis Wahono. cet. I. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003.
I. Wibowo dan Francis ahono (Ed.). Neoliberalisme. Jakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003.
James. Kyle. German Welfare State at a Turning Point. http://www.dwworld.de/ dw/article/0..1297218.00.html
Revrisond Baswir. Bahaya Liberalisasi Keuangan Bagi Negara-Negara Sedang Berkembang.http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul40.htm.
Spicker. Paul Social policy : themes and approaches. London ; New York : Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf. 1995.
Spicker. Paul. Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths. London: Catalyst. 2002.
Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo. Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta : LP3ES-Perkumpulan Prakarsa. 2006.
Yuliadi Kadarmo. Swedia: Melongok Implementasi Negara Kesejahteraan. 20 Agustus. 2009.http://www.kulinet.com/baca/swedia-melongok-implementasi-negara-kesejahteraan/69/)

No comments:

Post a Comment